Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk menggunakan jarum dari besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh perempuan yang tidak halal untuk dia sentuh” (HR Thabrani).
Sedari masa sekolah, hadits tersebut dan hadits lain yang sehubungan dengan persoalan jabat tangan “dengan lawan jenis” sudah diberitahukan oleh guru agamaku.
Namun karena memang di lingkungan sekolah dan perumahan tempat kami tinggal umumnya pergaulan masyarakat tidak islami---dan tidak pula terlalu bebas seperti sekarang ini, maka hal-hal yang agak tabu akan menjadi gossip hangat.
Contohnya beberapa belas tahun lalu, mulai ada kakak senior yang memperkenalkan kepada masyarakat tentang acara resepsi pernikahan yang bernuansa islami. Dalam undangannya yang sederhana, ada catatan : Hendaknya tamu berpakaian yang menutup aurat, dan tamu laki-laki & perempuan akan disediakan tempat duduk terpisah.
Para undangan yang sudah berburuk sangka langsung mencemooh dan berencana untuk tidak hadir. Sedangkan para undangan yang hadir, sibuk melempar segala prasangka yang tentu menjurus kepada fitnah.
Dari sekedar kata-kata, “aneh-aneh aja nih acara, aliran apa sih mereka ini?”, atau “gila! Pengantennya sok suci banget, gue ngajak salaman eeeh… dia cuma mendekapkan tangan di depan dada, ckckckck…”, atau “ya ampuuun, koq nikahan kayak gini, pengantinnya dipisah-pisah, tamu dipisah-pisah, gak ada goyang dangdutnya pula…”, hehehe, bahkan sampai ada yang bergosip bahwa orang tua pengantin tidak bisa mendidik anaknya dengan baik (karena sampai jadi aneh begitu) dan tidak punya dana yang cukup buat menyewa tim penghibur yang keren untuk pesta yang seharusnya meriah itu.
Apalagi tidak ada sesi photo “pre wedding”, ngirit banget tuh yah… Juga saat acara selesai, ternyata pengantin yang kedatangan tetangga-tetangga dekat sebagai panitia kecil acara itu, tetap mengundang rasa curiga, pengantin laki-laki hanya mau berjabat tangan dengan para bapak, sedangkan pengantin perempuan hanya mau berjabat tangan dengan para ibu.
Masyarakat yang doyan bergosip itu pun melanjutkan obrolan kemana-mana, saat sesi belanja di tukang sayur, saat arisan, dsb…Pokoknya “tuh keluarga pengantin aneh” itu diingat-ingat sepanjang sejarah deh.
Naudzubillah, kasihan sekali para manusia berlidah kotor seperti itu. Sedangkan justru keluarga pengantin itu adalah pionir dan teladan yang baik, saat ini sudah banyak para junior mereka yang “meniru” adab pernikahan islami, sederhana, bersahaja, tidak ikhtilat, dan tidak berlebih-lebihan.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan), dan janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk(fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hujurat : 11-12)
Juga cerita lainnya, saat Munirah melapisi kain hijab di tangannya kala bersalaman dengan pejabat dan rombongan bupati yang mengunjungi madrasah kecil di kampungnya.
Masyarakat sibuk bisik-bisik melulu, “menuduh” bahwa Munirah “ekstrim”, toh jabat tangan dengan pembesar adalah kebanggaan, bila perlu dipoto dan dipajang di ruang tamu, begitu pikir mereka. Oalah… Saya juga jadi ingat masa kecil, waktu teman-teman sibuk berebutan salaman dengan presiden saat dia datang ke kompleks perumahan kami.
Saya yang paling kecil disitu malah bingung, “ngapain sih berebutan salaman”, pikiranku dulu begitu. Lagi pula presidennya kan tidak banyak waktu, pasti harus melaksanakan tugas lainnya yang sudah dijadwalkan. Malah ada-ada saja insiden kecil yang terjadi, ada yang kakinya terinjak, terkilir, dll, gara-gara antrian jabat tangan, aduh, ternyata kejadian yang seperti itu tetap “nge-trend” sampai sekarang.
Manusia…. Yah, kita manusia sering lupa bahwa kebanggaan dan kebahagiaan itu tidak terletak pada “penilaian para penguasa, para pembesar”, tidak terletak di tangan-tangan manusia lainnya. Kita sering lupa bahwa saat Sang Khaliq memeluk dan membimbing jalan kita, “bercurhat” dengan-Nya di tengah malam gulita, justru kegiatan ---yang paling malas dilakukan inilah---malah merupakan kegiatan paling mebanggakan dan membahagiakan di hati, bagi orang beriman. Insya Allah.
Dulu di masa jadi anak sekolah, apabila ada teman yang saling jabat tangan khususnya lelaki dan perempuan, maka teman lain akan bersiul dan menggoda, “ehem… ehem….”, atau “cieee… cieee… kapan nih jadiannya?”.
Astaghfirrulloh. Saat ini pun isu jabat tangan masih sering “jadi sumber pertengakaran kecil” antara Saya dan suami, misalkan saat ada acara keluarga kantor piknik bersama. Waktu itu kami baru pindah ke Krakow.
Kebetulan teman kantor suami (teman yang wanita) bersalaman denganku sekaligus cipika-cipiki (maksudnya cium pipi kanan dan kiri, yah).
Namun tradisi “disini” kaum adam dan hawa semuanya cipika-cipiki, jadi seusai bersalaman denganku, teman-teman wanita itu langsung “nyosor” aja mau cipika-cipiki suamiku, aiiih, (siapapun tentu tahu perasaanku saat itu, dan bisa kalian tebak perubahan wajahku tentunya, hehe).
Uuntungnya suamiku menggunakan sarung tangan tebal sehingga tidak bersentuhan langsung dengan para teman wanita itu pada saat menahan tangan dan badan mereka yang sudah maju ke arahnya, “sorry, we are mosleem, this is not our tradition…”, ujar suamiku. “ooh, okay…. Ladies only…sorry yah”, kata teman-teman blonde itu.
Begitu pun sebaliknya, “kena tidak tadi?”, penasaran suamiku bertanya saat Saya usai bertemu teman-temannya yang laki-laki. “yah, gak lah… kan salamannya jarak jauh, aku malah nyuruh anak-anak yang bersalaman…”, ujarku seraya menjelaskan bahwa Saya tadi bersalaman “cara kita”, mengatupkan tangan di depan dada sambil tersenyum. Saling cemburu itu berarti tanda cinta, donk!
“dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna” (QS. Al-Mu’minuun : 3)
sumber : eramuslim.com (oase iman)
Sedari masa sekolah, hadits tersebut dan hadits lain yang sehubungan dengan persoalan jabat tangan “dengan lawan jenis” sudah diberitahukan oleh guru agamaku.
Namun karena memang di lingkungan sekolah dan perumahan tempat kami tinggal umumnya pergaulan masyarakat tidak islami---dan tidak pula terlalu bebas seperti sekarang ini, maka hal-hal yang agak tabu akan menjadi gossip hangat.
Contohnya beberapa belas tahun lalu, mulai ada kakak senior yang memperkenalkan kepada masyarakat tentang acara resepsi pernikahan yang bernuansa islami. Dalam undangannya yang sederhana, ada catatan : Hendaknya tamu berpakaian yang menutup aurat, dan tamu laki-laki & perempuan akan disediakan tempat duduk terpisah.
Para undangan yang sudah berburuk sangka langsung mencemooh dan berencana untuk tidak hadir. Sedangkan para undangan yang hadir, sibuk melempar segala prasangka yang tentu menjurus kepada fitnah.
Dari sekedar kata-kata, “aneh-aneh aja nih acara, aliran apa sih mereka ini?”, atau “gila! Pengantennya sok suci banget, gue ngajak salaman eeeh… dia cuma mendekapkan tangan di depan dada, ckckckck…”, atau “ya ampuuun, koq nikahan kayak gini, pengantinnya dipisah-pisah, tamu dipisah-pisah, gak ada goyang dangdutnya pula…”, hehehe, bahkan sampai ada yang bergosip bahwa orang tua pengantin tidak bisa mendidik anaknya dengan baik (karena sampai jadi aneh begitu) dan tidak punya dana yang cukup buat menyewa tim penghibur yang keren untuk pesta yang seharusnya meriah itu.
Apalagi tidak ada sesi photo “pre wedding”, ngirit banget tuh yah… Juga saat acara selesai, ternyata pengantin yang kedatangan tetangga-tetangga dekat sebagai panitia kecil acara itu, tetap mengundang rasa curiga, pengantin laki-laki hanya mau berjabat tangan dengan para bapak, sedangkan pengantin perempuan hanya mau berjabat tangan dengan para ibu.
Masyarakat yang doyan bergosip itu pun melanjutkan obrolan kemana-mana, saat sesi belanja di tukang sayur, saat arisan, dsb…Pokoknya “tuh keluarga pengantin aneh” itu diingat-ingat sepanjang sejarah deh.
Naudzubillah, kasihan sekali para manusia berlidah kotor seperti itu. Sedangkan justru keluarga pengantin itu adalah pionir dan teladan yang baik, saat ini sudah banyak para junior mereka yang “meniru” adab pernikahan islami, sederhana, bersahaja, tidak ikhtilat, dan tidak berlebih-lebihan.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan), dan janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk(fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hujurat : 11-12)
Juga cerita lainnya, saat Munirah melapisi kain hijab di tangannya kala bersalaman dengan pejabat dan rombongan bupati yang mengunjungi madrasah kecil di kampungnya.
Masyarakat sibuk bisik-bisik melulu, “menuduh” bahwa Munirah “ekstrim”, toh jabat tangan dengan pembesar adalah kebanggaan, bila perlu dipoto dan dipajang di ruang tamu, begitu pikir mereka. Oalah… Saya juga jadi ingat masa kecil, waktu teman-teman sibuk berebutan salaman dengan presiden saat dia datang ke kompleks perumahan kami.
Saya yang paling kecil disitu malah bingung, “ngapain sih berebutan salaman”, pikiranku dulu begitu. Lagi pula presidennya kan tidak banyak waktu, pasti harus melaksanakan tugas lainnya yang sudah dijadwalkan. Malah ada-ada saja insiden kecil yang terjadi, ada yang kakinya terinjak, terkilir, dll, gara-gara antrian jabat tangan, aduh, ternyata kejadian yang seperti itu tetap “nge-trend” sampai sekarang.
Manusia…. Yah, kita manusia sering lupa bahwa kebanggaan dan kebahagiaan itu tidak terletak pada “penilaian para penguasa, para pembesar”, tidak terletak di tangan-tangan manusia lainnya. Kita sering lupa bahwa saat Sang Khaliq memeluk dan membimbing jalan kita, “bercurhat” dengan-Nya di tengah malam gulita, justru kegiatan ---yang paling malas dilakukan inilah---malah merupakan kegiatan paling mebanggakan dan membahagiakan di hati, bagi orang beriman. Insya Allah.
Dulu di masa jadi anak sekolah, apabila ada teman yang saling jabat tangan khususnya lelaki dan perempuan, maka teman lain akan bersiul dan menggoda, “ehem… ehem….”, atau “cieee… cieee… kapan nih jadiannya?”.
Astaghfirrulloh. Saat ini pun isu jabat tangan masih sering “jadi sumber pertengakaran kecil” antara Saya dan suami, misalkan saat ada acara keluarga kantor piknik bersama. Waktu itu kami baru pindah ke Krakow.
Kebetulan teman kantor suami (teman yang wanita) bersalaman denganku sekaligus cipika-cipiki (maksudnya cium pipi kanan dan kiri, yah).
Namun tradisi “disini” kaum adam dan hawa semuanya cipika-cipiki, jadi seusai bersalaman denganku, teman-teman wanita itu langsung “nyosor” aja mau cipika-cipiki suamiku, aiiih, (siapapun tentu tahu perasaanku saat itu, dan bisa kalian tebak perubahan wajahku tentunya, hehe).
Uuntungnya suamiku menggunakan sarung tangan tebal sehingga tidak bersentuhan langsung dengan para teman wanita itu pada saat menahan tangan dan badan mereka yang sudah maju ke arahnya, “sorry, we are mosleem, this is not our tradition…”, ujar suamiku. “ooh, okay…. Ladies only…sorry yah”, kata teman-teman blonde itu.
Begitu pun sebaliknya, “kena tidak tadi?”, penasaran suamiku bertanya saat Saya usai bertemu teman-temannya yang laki-laki. “yah, gak lah… kan salamannya jarak jauh, aku malah nyuruh anak-anak yang bersalaman…”, ujarku seraya menjelaskan bahwa Saya tadi bersalaman “cara kita”, mengatupkan tangan di depan dada sambil tersenyum. Saling cemburu itu berarti tanda cinta, donk!
“dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna” (QS. Al-Mu’minuun : 3)
sumber : eramuslim.com (oase iman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar