Partai Komunis Indonesia (
PKI) adalah
partai politik di
Indonesia yang berideologi
komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada
1926, mendalangi
pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal dengan peristiwa G30S/PKI.
Sebelum Revolusi Indonesia
Gerakan Awal PKI
Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda,
Henk Sneevliet pada
1914, dengan nama
Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda
[1]
Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "
Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah
Adolf Baars.
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada
1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka".
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa
Revolusi Oktober seperti yang terjadi di
Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah
dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain,
Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia.
Pembentukan Partai Komunis
Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di
Semarang dan
Yogyakarta membuat
Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah
perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di
Semarang (
Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi
Perserikatan Komunis di Hindia.
Semaoen diangkat sebagai ketua partai.
PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari
Komunis Internasional.
Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada
1920.
Pada
1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pemberontakan 1926
Pada November
1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di
Jawa Barat dan
Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah
republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke
Boven Digul, sebuah kamp tahanan di
Papua [2]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada
1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh
Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat
Tan Malaka di cap sebagai pengikut
Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan
Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di
Jawa terjadi. Semisal
Pemberontakan Silungkang di
Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada
1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di
Moskwa,
Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya
Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis,
Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI.
Peristiwa Madiun 1948
Pada
8 Desember 1947 sampai
17 Januari 1948 pihak Republik
Indonesia dan pendudukan
Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai
Perundingan Renville. Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu,
kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada
23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan
kabinet Hatta.
Selanjutnya
Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada
28 Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.
Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah
Muso seorang tokoh
komunis yang sejak lama berada di
Moskow,
Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan
TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada
18 September 1948 di
Madiun,
Jawa Timur.T ujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar
Soedirman memerintahkan Kolonel
Gatot Subroto di
Jawa Tengah dan Kolonel
Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada
30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan
polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Bangkit kembali
Pada
1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu
Harian Rakjat dan
Bintang Merah. Pada
1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan
D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti
Sudisman,
Lukman,
Njoto dan
Sakirman, menguasai pimpinan partai pada
1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada
1950, menjadi
165 000 pada
1954 dan bahkan 1,5 juta pada
1959 [4]
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di
Medan dan
Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.
Pemilu 1955
Pada
Pemilu 1955, PKI menempati tempat keempat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di
Konstituante.
Perlawanan terhadap kontrol Belanda atas
Papua bagian barat merupakan masalah yang seringkali diangkat oleh PKI selama tahun 1950-an.
Pada
Juli 1957, kantor PKI di
Jakarta diserang dengan
granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di kota-kota. Pada
September 1957,
Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang
[5].
Pada
3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para
kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.
Pada
Februari 1958 terjadi sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pro
Amerika Serikat di kalangan militer dan politik sayap kanan. Para pemberontak, yang berbasis di
Sumatera dan
Sulawesi, mengumumkan pada
15 Februari 1958 telah terbentuk
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut
revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Pemberontakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada
1959,
militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri menyampaikan sambutannya. Pada
1960, Soekarno melancarkan slogan
Nasakom yang merupakan singkatan dari
Nasionalisme,
Agama, dan
Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.
Meskipun PKI mendukung Soekarno, ia tidak kehilangan
otonomi politiknya. Pada Maret
1960, PKI mengecam penanganan anggaran yang tidak demokratis oleh Soekarno. Pada
8 Juli 1960, Harian Rakjat memuat sebuah artikel yang kritis terhadap pemerintah. Para pemimpin PKI ditangkap oleh militer, namun kemudian dibebaskan kembali atas perintah Soekarno.
Ketika gagasan tentang
Malaysia berkembang, PKI maupun
Partai Komunis Malaya menolaknya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada
1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar
Uni Soviet dan
RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia),
Pemuda Rakjat,
Gerwani,
Barisan Tani Indonesia (BTI),
Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan
Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada Maret
1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan
April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada
1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan
Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah
Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina,
Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan
Maphilindo dan federasi
Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan
Inggris dan
Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Kebanyakan dari satuan-satuan tempur PKI aktif di wilayah perbatasan di
Kalimantan.
Pada
Januari 1964, PKI mulai menyita hak milik perusahaan-perusahaan Inggris di Indonesia.
Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya
Angkatan ke-5 yang terdiri dari
buruh dan
petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti
Partai Komunis Cina dan
Nazi dengan
SS nya. Hal inilah yang membuat
TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".
Gerakan 30 September
Alasan mencetuskan G30S difokuskan pada melawan apa yang disebut „rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno“.
[April 2010] Bukan mustahil bahwa kebijaksanaan untuk tidak membubarkan HMI seperti yang dituntut oleh CGMI, juga dianggap sebagai satu rangkaian dari rencana keberhasilan „Dewan Jenderal“, padahal sikap itu sangat jelas adalah sikap Bung Karno dan Kabinet
Memang PKI sudah dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang G30S, makin agresif dalam sikap dan tindakannya. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut „kapitalis birokrat“
[April 2010] terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan „Aksi Sepihak“ dan istilah ;, „7 setan desa“
[April 2010], serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada „kepemimpinan“-nya dan mengabaikan „demokrasi“-nya
[April 2010], adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI
[April 2010], sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi.
[April 2010] Dilupakannya bahwa seumpama benar dibidang politik partai ini sudah berdominasi, tapi dalam kenyataan sama sekali tidak berhegemoni, sehingga anggapan berdominasi, tidak lebih dari satu ilusi.
[April 2010]
Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah letkol. Untung Samsuri.
Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya.
Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.
Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Hsinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.
[April 2010]
Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa in factum. Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan effek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.
Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.
Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
Tidak perlu harus menjadi komunis lebih dulu untuk mengakui sesuatu yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Akan tetapi tentu adalah keliru bila menggunakan terminologi nilai-nilai kemanusiaan untuk memberikan pembenaran atas suatu peristiwa politik yang melibatkan PKI sebagai pelaku politik
Gerakan 30 September yang dilancarkan oleh PKI kini disebut dengan peristiwa G30S/PKI. Dimana peristiwa tersebut telah cukup menggambaran penculikan dan pembunuhan terencana yang dipublikasikan dilakukan oleh PKI terhadap sejumlah jenderal TNI AD yang kemudian di buang ke sumur tua di daerah Lubang Buaya. Dan gagalnya upaya PKI untuk menggulingkan Ideologi Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia untuk kemudian di ganti dengan Ideologi Komunis, pada masa pemerintahan presiden Soeharto telah dikenal dengan peringatan hari kesaktian Pancasila yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Oktober oleh seluruh rakyat indonesia dengan mengkibaran bendera setengah tiang. Namun kini berbagai pertanyaan tentang siapa perencana gerakan 30 September masih berkumandang.